Alasan untuk Melayani Tuhan
"Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka." (2 Korintus 5:14-15)
Motivasi untuk Melayani Tuhan
Ada berbagai macam faktor yang melatarbelakangi mengapa seseorang melayani Tuhan. Tetapi faktor paling utama yang mendasari pelayanan yang sejati adalah panggilan Tuhan. Faktor panggilan Tuhan akan menjadikan seseorang hidup untuk melayani, bukan melayani untuk hidup. Karena panggilan itu pula, seseorang yang mempunyai pengalaman nyata akan kasih karunia Allah dalam hidupnya kemudian akan menjadikan kasih kepada Allah dan sesama sebagai dasar kehidupan dan pelayanannya. Orang yang memiliki motivasi kasih kepada Allah dan sesama inilah yang akan lebih `tahan banting` dalam pelayanan. Paulus adalah salah satu contoh seseorang yang memiliki panggilan Tuhan yang jelas dalam hidupnya. Itulah yang membuat hidup dan pelayanannya begitu luar biasa di dalam tangan Tuhan dan menjadi berkat bagi banyak orang.
Jika Allah memanggil, Dia tahu siapa yang dipanggil-Nya dan untuk apa. Jika Allah menghendaki kita melakukan sesuatu, Dia tahu bahwa kita sanggup melakukannya dengan anugerah-Nya. Allah kita adalah Allah yang Mahabesar dan Ia sanggup melakukan segala perkara. Dia yang mengatur alam semesta, Dia yang empunya bumi dan segala isinya, laut serta segala yang diam di dalamnya. Kitalah yang sering berpikiran picik dan kerdil, membuat Allah seolah-olah tidak mampu berbuat apa-apa. Kepicikan dan kekerdilan iman yang menjadi penghalang bagi kita sehingga kita tidak mampu melihat kebesaran Allah atas seluruh ciptaan-Nya, termasuk juga atas hidup kita.
Para hamba Tuhan yang sungguh-sungguh memiliki panggilan Allah dalam hidupnya telah membuktikan dengan nyata kebenaran panggilan-Nya yang tidak pernah salah. Tuhan tidak mungkin memberikan mandat agar kita memberitakan Injil, menjadi saksi-Nya sampai ke ujung bumi, dan memuridkan segala bangsa bagi-Nya jika Dia tahu bahwa kita tidak sanggup melakukannya.
Ia telah berjanji bahwa kita akan diperlengkapi dengan kuat kuasa Roh Kudus untuk menjadi saksi-Nya sampai ke ujung-ujung bumi. Di situlah letak kesanggupan kita, yaitu Allah yang memanggil, Ia juga yang akan memperlengkapi dan menyertai sesuai dengan janji-Nya.
Firman Tuhan kepada Yesaya dalam Yesaya 49:6 berbicara dengan jelas bagi saya dan menjadi suatu peneguhan akan panggilan Tuhan bagi saya pribadi di awal tahun 1980. "Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara. Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi."
Dalam masa pembentukan Tuhan (kami memakai istilah `pembentukan` untuk menjelaskan bahwa seorang hamba Tuhan harus mengalami tiga pembentukan, yaitu pembentukan formal berupa pengetahuan akademis, nonformal berupa ketrampilan praktis, dan informal berupa pembentukan karakter) di Institut Injil Indonesia, Batu, Malang, Tuhan memberkati saya dengan orang tua rohani, yaitu keluarga Dietmar Scheunemann yang menolong saya bertumbuh dalam hal rohani, visi, dan misi. Ini ditunjang pula oleh atmosfer misi di kampus di mana setiap harinya ada dua misi bagi pekerjaan-pekerjaan misi sedunia. Hingga pada suatu hari kapten kapal Logos I, Bjorn Kristiansen, dari Norwegia (sekarang bersama isterinya telah pulang ke rumah Bapa), berbicara dengan jelas secara pribadi kepada saya di rumah keluarga Scheunemann di Batu dalam suatu liburan.
Secara pribadi, saya menyakini bahwa melalui pengalaman tersebut Tuhan memanggil saya untuk pekerjaan misi. Kemudian, dalam pelayanan praktik setahun, saya ditempatkan untuk membantu melayani sebuah jemaat kecil di Bengkulu, di satu perkebunan karet yang baru dibuka. Tempat yang sulit, melelahkan, dan secara ekonomi juga sulit. Ketika saya kembali ke kampus dan bersiap untuk menyelesaikan pendidikan sarjana muda, dosen dan teman-teman saya menanyakan arah pelayanan saya berikutnya. Sejujurnya, kenyataan di ladang pelayanan dan keberadaan saya menutupi apa yang seharusnya saya katakan dan lakukan. Seorang teman dengan tegas berkata, "Bukankah Tuhan memanggilmu ke ladang misi?" Saya menjawab, "Memang iya, tetapi bagaimana dengan bahasa? Saya tidak bisa berbahasa Inggris, sedangkan kalau keluar negeri paling tidak harus bisa berbahasa Inggris." Teman saya, Roland Octavianus, menguatkan, "Bagus, kalau Tuhan memanggil, Dia pasti akan melengkapi dengan bahasa yang diperlukan." Tersentak dengan pernyataan ini, saya berkata, "Tuhan, saya bersedia, Ini aku, Tuhan." Selang beberapa waktu kemudian, saya mulai ragu-ragu lagi karena untuk sponsor keuangan, saya tidak melihat sedikit pun tersedia padahal kebutuhannya begitu besar. Steven Scheunemann, seorang sahabat dan saudara, menegur saya dengan tegas, "Lima tahun kamu sekolah di sekolah teologia, belajar tentang iman, menulis makalah tentang iman dengan istilah bahasa aslinya, dan sebagainya, hanya teori, mana buktinya? Kalau Tuhan memanggil, Dia tidak pernah salah. Dia pasti menyediakan apa yang kamu perlukan. Jangan meragukan firman-Nya!". Saya bertekuk lutut di hadapan Tuhan karena meragukan panggilan-Nya dengan berbagai alasan yang kelihatannya logis dan rohani. Dengan sepenuh hati saya berkata, "Ini aku Tuhan, utuslah aku!"
Setelah semua itu saya dengan yakin dapat mengatakan kepada pihak sekolah ke mana saya akan diutus melayani setelah wisuda. Hati saya melimpah dengan damai sejahtera yang luar biasa. Tuhan menyatakan pimpinan-Nya pada hari wisuda ketika satu keluarga yang belum pernah mengenal saya dan belum pernah saya kenal mengatakan akan mensponsori saya secara finansial untuk pelayanan lintas budaya. Itulah keluarga BR. Sahulata di Palembang yang kemudian menjadi sahabat dan pendukung doa yang setia. Bahkan sebelas tahun kemudian, ketika isteri saya dalam perjalanan riset misi mampir di rumah mereka, ia merasa seperti bertemu keluarga sendiri. GEKISIA yang ketika itu komisi misinya adalah orang-orang yang berhati misi mengutus dan mensponsori pelayanan saya di OM. Bahasa? Bahasa Spanyol saya lebih baik dari bahasa Inggris. Ketika saya di Mesir, paling tidak saya bisa berkomunikasi dalam bahasa Arab. Tuhan sungguh luar biasa. Tugas saya hanyalah menaati-Nya dan berusaha melakukan bagian saya sebaik-baiknya. Seandainya waktu itu saya terkungkung oleh perasaan rendah diri karena kemiskinan, kepicikan, kekerdilan berpikir serta kerendahan hati yang salah, akan bayak orang yang seharusnya tersentuh kasih Tuhan melalui hidup saya tidak akan mengalaminya.
Bahan diedit dari sumber:
Judul buku | : | Misi dari dalam Krisis |
Judul artikel | : | Alasan untuk Melayani Tuhan |
Penulis | : | Bagus Surjantoro |
Penerbit | : | Obor Mitra Indonesia, Jakarta 2003 |
Halaman | : | 40 -- 44 |
No comments:
Post a Comment